Oleh Andre Yosua M (Tenaga Ahli Hukum Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Banten

BANTEN1031 Dilihat

Investigasi bhayangkara Indonesia com “Yasonna menilai petugas lapas sejatinya sudah cukup ideal. Hanya saja, banyaknya warga binaan narkotika menjadi penyebab sejumlah Lapas di Indonesia over kapasitas”(cnnindonesia.com/ Kamis, 09/09/2021 01:24 WIB)

Sangat menarik mencermati pernyataan Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly terkait kebakaran di Lapas Tangerang yaitu banyaknya warga binaan narkotika. Bahkan data di lapangan menunjukan, warga binaan narkotika di Lapas tersebut diputus oleh Pengadilan dengan barang bukti dibawah 1 gram.

Indonesia telah tiga kali mengganti Undang Undang Tentang Narkoba yakni UU Nomor 9 Tahun 1976, UU nomor 22 Tahun 1997 dan saat ini berlaku UU Nomor 35 Tahun 2009. Ketiga undang-undang tersebut mengacu pada Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 di Amerika yang diamandemen dengan Protokol 1971 salah satu amanatnya ada peran rehabilitatif dalam undang-undang tersebut.

Ketiga UU Narkotika tersebut konstruksi hukumnya selalu menempatkan penyalahguna narkotika sebagai kejahatan yang diperlakukan secara khusus yaitu diberikan upaya paksa berupa rehabilitasi dan penjatuhan hukuman berupa hukuman rehabilitasi.

Secara filosofis hukum pidana dan penalogi (ilmu yang mempelajari hukuman) bahwa idealnya seorang peyalahguna (pecandu) diberikan hukuman sesuai perbuatan nya yaitu di rehabilitasi.

Secara norma hukum positif di Indonesia pun berlaku UU No 35 Tahun 2009. Tujuan undang-undang 35 tahun 2009 ada 2 yaitu memberantas peredaran gelap narkoba, menjamin pengaturan upaya hukum rehabilitasi bagi penyalaguna dan pecandu (pasal 4). Dengan sederhana dapat disimpulkan mengatakan misi penegakkan hukum Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah represif terhadap pengedar dan rehabilitatif terhadap pengguna.

Namun yang menjadi kendala terbesar adalah dalam Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana) di Indonesia terkait UU Narkotika tersebut ialah disharmonisasi dan miss tafsir oleh apparat penegak hukum yaitu penyidik, penuntut umum dan majelis hakim. Pada penyidik terdapat kebingungan untuk menerapkan pasal 127 secara tunggal dalam berkas perkara. Salah satu penyebabnya ialah Ketika diterapkan pasal 127 tunggal maka tidak ada wewenang penyidik untuk menahan pelaku (pecandu) tersebut.

Alasan lain dari penyidik yang ditemui adalah petunjuk dari Penuntut Umum. Bahkan Hakim dalam putusan masih sering menghukum seseorang penyalahguna (pecandu) dengan hukuman penjara.

Sekalipun dalam Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun 2009 mewajibkan hakim menghukum rehabilitasi bagi para pecandu narkotika baik terbukti melakukan tindak pidana narkotika atau tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika lainnya. Bahkan Mahkamah Agung telah memberikan salah satu pedoman dalam menentukan kriteria pecandu yang dapat direhabilitasi dalam Surat Edaran Nomor: 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, dengan intinya hasil uji lab positif narkotika dan dengan barang bukti kurang dari 1 gram.

Dengan kesimpulan sederhana, salah satu penyebab mengapa sejak kita memiliki Undang Undang Narkotika kebutuhan akan lapas meningkat tidak terkendali, penyalahguna jumlahnya meningkat tajam dari tahun ke tahun karena tidak disembuhkan, peredaran narkotika menjadi ramai karena pembelinya makin banyak dan probilitas keberhasilan penegakkan hukumnya menjadi tinggi, akhirnya lapas menjadi kuwalahan menangani warga binaan yang notabene orang sakit kecanduan.

Terlepas dari kontroversi perihal revisi UU Narkotika adalah diperlukan kesamaan (harmonisasi) antara aparat penegak hukum berhadapan dengan kasus kasus narkotika , khusus nya penyalahguna (pecandu).