KOTA BANJAR, Investigasi Bhayangkara Indonesia.co.id – Dugaan adanya kasus Tunjangan Perumahan dan Transportasi Bagi Pimpinan DPRD dan Anggota DPRD Kota Banjar saat ini tengah ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Banjar, berdasarkan informasinya Kejari Kota Banjar masih terus pemanggilan terhadap beberapa pihak terkait, melakukan pemanggilan terhadap beberapa orang untuk diperiksa, secara maraton.
Irwan Herwanto, S.IP selaku
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI). Menyikapi permasalahan yang sedang di perbincangkan di publik, tentang tunjangan perumahan dan transportasi Bagi Pimpinan DPRD dan Anggota DPRD Kota Banjar.
Dengan melihat permasalahan yang ada, perihal pemberian tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD ini dapat dikatakan merupakan bentuk korupsi yang dilegalkan karena rumah yang disewa adalah rumah milik pribadi pimpinan dan anggota DPRD serta anggaran yang digunakan merupakan uang negara. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara dalam kasus ini pemerintah daerah untuk melegalkan tindak pidana korupsi, ucapnya.
Mengapa demikian, karena penyalahgunaan wewenang merupakan suatu hal mutlak dalam penentuan tindak pidana korupsi dan berakibat kepada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam hal ini adalah Pasal 3 UU No. 20/2001, yakni terkait dengan pejabat publik atau pemerintahan atau penyelenggara negara terutama dalam hal penggunaan keuangan negara.
Adanya kasus Tunjangan Perumahan dan Transportasi Bagi Pimpinan DPRD dan Anggota DPRD Kota Banjar yang Tengah diperiksa Kejaksaan Negeri Kota Banjar menandakan adanya permasalahan serius dalam pemenuhan tunjangan kesejahteraan pimpinan dan anggota DPRD Kota Banjar yang dinilai ugal-ugalan. Meski telah diatur melalui Peraturan Walikota Banjar Nomor 15 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 82 Tahun 2020 Tentang Besaran Tunjangan Perumahan Dan Tunjangan Transportasi Bagi Pimpinan Dan Anggota DPRD Kota Banjar, menunjukan bahwa dalam menetapkan besaran tunjangan tersebut tidak didasari dengan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku, dan standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menentukan Tunjangan Perumahan Anggota DPRD Kota Banjar. Maka disinilah letak korupsi kebijakan sebagai salah satu bentuk perampokan uang rakyat yang dilegalkan dalam peraturan perundang-undangan berikut peraturan turunannya.
Hal ini dapat dilihat dari konsep wewenang dalam kajian hukum khususnya hukum administrasi dan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut tradisi ilmu hukum, titik taut “hukum administrasi” berada diantara norma hukum pemerintahan dan hukum pidana, sehingga dapat dikatakan sebagai “hukum antara”. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut dapat ditegakkan sanksi pidana. Karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan didasarkan hukum administrasi karena akhir dari setiap tindakan kebijakan pemerintah itu ada sejumlah ketentuan pidana.
Tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD dibiayai oleh keuangan negara, sehingga harus dipertanggungjawabkan penggunaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam pertanggungjawabannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dikategorikan dalam penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara.
Perlu diketahui bahwa yang terjadi saat ini, pembayaran tunjangan perumahan Anggota DPRD dibayarkan sekaligus dan melekat pada gaji Anggota DPRD, maka semua pembayaran tidak dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara material sehingga terjadi penyalahgunaan keuangan negara yang menyebabkan kerugian negara. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2017 Pasal 17 Ayat (3) menyatakan bahwa : “Besaran tunjangan perumahan yang dibayarkan harus sesuai dengan standar satuan harga sewa rumah yang berlaku untuk standar rumah negara bagi Pimpinan dan Anggota DPRD, tidak termasuk mebel, belanja listrik, air, gas, dan telepon.” Faktanya besaran tunjangan yang diberikan jelas tidak menganut asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku, standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka disinilah letak korupsi kebijakan sebagai salah satu bentuk perampokan uang rakyat yang dilegalkan dalam peraturan perundang-undangan. Fasilitas tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD tidak diharapkan menjadi praktik korupsi yang dilegalkan. Apalagi tunjangan perumahan itu setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat besar serta diberikan terus menerus setiap bulan sehingga membebani APBD.
Pertanggungjawaban tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD juga harus menggunakan metode biaya riil (Ad Cost) bukan Lumpsum (pembayaran sekaligus) karena tunjangan perumahan diperuntukan untuk menyewa rumah, maka biaya yang dikeluarkan harus sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah, sehingga semua pembayaran dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara material karena berkaitan dengan pertanggungjawaban keuangan negara.
Berdasarkan hal tersebut kami mendukung penuh Kejaksaan Negeri Kota Banjar serta Aparat Penegak Hukum lainnya untuk mengusut tuntas dugaan kasus yang terjadi demi memutus mata rantai korupsi di negeri ini yang hanya akan merugikan rakyat.
“TUNJANGAN SELANGIT DITENGAH EKONOMI SULIT”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banjar mencatat selama lima tahun kebelakang jumla penduduk miskin di Kota Banjar masih mencapai lebih dari 10 ribuan jiwa bahkan pada tahun 2021 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 13,37 ribuan jiwa. Selain itu, angka pengangguran dan angkatan kerja masih tinggi dan tidak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja, ditambah lagi daya beli yang minim serta Upah Minimum Kota (UMK) yang masih menyandang predikat terendah di Jawa Barat sejak tahun 2019.
Situasi yang menunjukan kontrasnya kondisi antara para pejabat dengan masyarakat, pejabat publik dengan segala fasilitas dan tunjangannya jangan sampai kehilangan akal sehat. Saat ini Nampak banyak yang memperlihatkan perilaku paradoks hingga sedikit pun tak punya rasa malu. Tanpa beban, menikmati uang negara melalui tunjangan-tunjangan penghasilan yang fantastis dan berlipat-lipat di saat ekonomi daerah sedang sekarat.
Masih banyak sejumlah rakyat kecil di Kota Banjar, Jawa Barat, menjerit karena ekonomi mereka sulit untuk menghidupi keluarga sehari-hari. Mereka berharap ada afirmasi dari pemerintah, dan wakil rakyatnya agar dapat memberikan solusi dan bantuan kepada rakyat kecil. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan kegelisahan, dimana pemerintah baik eksekutif, legislatif dan yudikatif saat ini masih sibuk dengan urusannya sendiri sehingga lupa dengan kewajibannya memberikan perhatian kesejahteraan dan keadilan sosial rakyatnya.
“Supaya yang susah (rakyat-rakyat) kecil dipikirkan, yang susah-susah supaya merasa tidak kesusahan.” Pemerintah diharapkan lebih memerhatikan rakyat kecil yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan hidup sehari-hari. Serta berharap pemerintah mampu membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil, bukannya justru malah membuat regulasi dan kebijakan pemerintah yang seringkali menomor duakan rakyat cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok, tegasnya.
Irwan Herwanto, S.IP selaku
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Kota Banjar, kami mendukung penuh pihak Kejaksaan Banjar agar mengusut tuntas sampai ke akar akarnya. Dengan mengakhiri pembicaraan dengan awak media Investigasi Bhayangkara Indonesia (IBI), pungkasnya. (Encep Dian)