Semarang – Dugaan keterlibatan seorang anggota DPRD Kota Semarang dalam aktivitas pertambangan ilegal semakin menguat. Berdasarkan investigasi terbaru, seorang anggota DPRD berinisial HLB diduga menjadi pengelola tambang Galian C ilegal di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Tambang ini beroperasi di bawah CV Dagga Handal Prima, yang hingga saat ini izinnya belum terbit melalui Nomor Induk Berusaha (NIB) Online Single Submission (OSS). Artinya, segala aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut ilegal dan melanggar hukum.

Lebih mengejutkan lagi, dalam pernyataannya kepada jurnalis, HLB secara terang-terangan mengakui bahwa dirinya merupakan pengelola tambang tersebut. Bahkan, ia berupaya menekan media agar tidak memberitakan kasus ini.
“Mas, tolong takedown berita tentang Galian C Mangunharjo, saya pengelola di situ,” ujar HLB, Jumat (14/3/25).
Pernyataan HLB ini bukan hanya menguatkan dugaan keterlibatannya dalam bisnis tambang ilegal, tetapi juga menunjukkan adanya upaya mengintervensi kebebasan pers, yang merupakan hak fundamental dalam sistem demokrasi.
Dasar Hukum yang Dilanggar
Berdasarkan fakta yang terungkap, terdapat beberapa regulasi yang dapat menjerat HLB, baik dari aspek pertambangan ilegal, penyalahgunaan wewenang, maupun intervensi terhadap kebebasan pers.
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Pasal 158 menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana dengan penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.”
Jika benar tambang ini beroperasi tanpa izin resmi, maka HLB dapat dijerat dengan sanksi pidana berat sesuai dengan UU Minerba.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 76 Ayat (1) melarang anggota DPRD untuk terlibat dalam kegiatan usaha yang berkaitan dengan kewenangan daerahnya.
Pasal 76 Ayat (2) menyebutkan bahwa jika terbukti melanggar, maka anggota DPRD dapat diberhentikan dari jabatannya.
Jika HLB memang terbukti sebagai pemilik tambang ilegal, maka ia telah melanggar kode etik DPRD dan bisa diberhentikan.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Pasal 12 Huruf i melarang pejabat negara menggunakan pengaruh atau jabatannya untuk mengintervensi perizinan usaha demi kepentingan pribadi.
Jika terbukti, HLB bisa dijerat dengan hukuman penjara seumur hidup atau pidana minimal 4 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 18 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang menghambat kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Pernyataan HLB yang meminta agar berita tentang tambang ilegalnya dihapus bisa dianggap sebagai bentuk intimidasi terhadap jurnalis dan pelanggaran terhadap kebebasan pers.
Kasus ini semakin memperjelas korupsi politik yang merajalela di sektor pertambangan ilegal. Jika benar HLB terlibat dalam praktik ini, maka hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan yang mencoreng integritas DPRD Kota Semarang.
Oleh karena itu, masyarakat menuntut transparansi dan tindakan tegas dari aparat penegak hukum, di antaranya:
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan untuk menyelidiki keterlibatan anggota DPRD dalam bisnis ilegal ini.
- Polri dan Kejaksaan harus segera menindak praktik pertambangan ilegal ini sesuai dengan UU Minerba.
- DPRD Kota Semarang wajib melakukan investigasi internal terhadap HLB dan mengambil langkah tegas jika terbukti bersalah.
- Kementerian ESDM harus memperketat pengawasan terhadap perizinan pertambangan agar kasus serupa tidak terulang.
Dugaan keterlibatan anggota DPRD Kota Semarang dalam bisnis tambang ilegal ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan betapa lemahnya pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah.
Jika hukum benar-benar ditegakkan, maka HLB seharusnya tidak hanya diberhentikan dari jabatannya, tetapi juga diproses secara pidana. Namun, jika kasus ini dibiarkan berlalu begitu saja, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Masyarakat Semarang menunggu tindakan nyata. Akankah hukum benar-benar ditegakkan, ataukah ini hanya akan menjadi skandal yang berlalu tanpa konsekuensi?
(red)