Oleh Mas Raden (Penggiat Budaya Orang Muda Indonesia)
Investigasibhayangkara.com
Kisruh yang terus terjadi di Kraton Solo antara kubu LDA (Lembaga Dewan Adat) dan kubu dalam Kraton (PB XIII) semakin ramai diperbincangkan di jagad maya. Banyak yang mempertanyakan keberadaan dan fungsi LDA yang dianggap kerap melampaui wewenang Raja Solo, Sinuwun Pakoe Boewono XIII (PB XIII). Fenomena ini sungguh mengkhawatirkan, karena dari empat kraton yang ada di Jawa, hanya Solo yang memiliki lembaga semacam LDA. Kraton Yogyakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran tidak mengenal konsep LDA; semuanya tunduk langsung pada sabda raja, tanpa adanya lembaga yang memisahkan atau mempertanyakan otoritas raja.
Lembaga Dewan Adat di Kraton Solo sering kali dipandang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang ambigu. Dalam beberapa kesempatan, tindakan LDA justru terkesan melampaui kewenangannya, menimbulkan ketegangan internal yang berlarut-larut. Misalnya, dalam peristiwa Sekaten yang baru saja terjadi, LDA memutuskan untuk menabuh gamelan tanpa menunggu dawuh (perintah) dari Pakoe Boewono XIII. Tindakan tersebut sangat disayangkan karena tradisi Kraton Solo selama ini selalu menghormati sabda raja sebagai perintah yang harus dipatuhi.
Hal ini jelas mencederai paugeran (aturan adat) yang telah lama menjadi pondasi budaya Kraton Solo. Penulis menyayangkan bahwa lembaga seperti LDA, yang seharusnya mendukung otoritas raja, justru bertindak seolah-olah memiliki wewenang yang setara atau bahkan melebihi raja. Padahal, dalam tradisi Jawa, sabda raja memiliki kekuatan spiritual dan kosmis yang wajib dihormati oleh seluruh elemen masyarakat kraton.
Tindakan LDA yang melangkahi wewenang raja bukanlah hal sepele. Jika terus dibiarkan, ini berpotensi memecah belah Kraton Solo, yang merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga tradisi dan budaya Jawa. Sebagai contoh, ketika penulis menghadiri acara kirab pusaka 1 Suro beberapa waktu lalu, terjadi keributan kecil antara petugas yang ditunjuk oleh Pakoe Boewono XIII dan anggota LDA yang berjalan sendiri-sendiri. Ironisnya, mereka tidak menyatu di bawah satu perintah, yaitu perintah raja. Hal ini memicu pertanyaan: Mengapa LDA tidak tunduk sepenuhnya pada raja, seperti halnya yang terjadi di kraton-kraton lain di Jawa?
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, posisi raja selalu dipandang sebagai pemegang otoritas tertinggi, baik dalam urusan politik maupun spiritual. Sabda raja bukan hanya perintah administratif, tetapi juga manifestasi kehendak ilahi, seperti yang dijelaskan dalam jurnal Journal of History Education and Culture dengan judul Konsep Kedudukan Raja pada Awal Berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Dalam konteks ini, kedudukan raja dianggap sebagai perwujudan keseimbangan antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (dunia manusia). Oleh karena itu, setiap perintah raja memiliki dimensi kosmis yang tidak boleh diabaikan, karena akan membawa ketidakseimbangan dalam tatanan alam dan masyarakat.
Keberadaan LDA yang tampak memisahkan diri dari otoritas Pakoe Boewono XIII menjadi anomali tersendiri di antara kraton-kraton di Jawa. Di Yogyakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran, tidak ada lembaga seperti LDA. Semua urusan kraton langsung tunduk pada perintah raja. Tradisi ini berjalan lancar tanpa adanya konflik internal yang berlarut-larut. Lalu, mengapa di Kraton Solo, LDA justru menjadi pihak yang kerap berseteru dengan raja?
Budaya Jawa sangat menghormati hierarki kekuasaan yang didasari oleh konsep spiritual. Raja bukan hanya pemimpin pemerintahan, tetapi juga pemelihara harmoni antara manusia dan alam. Oleh karena itu, setiap elemen dalam kraton seharusnya tunduk pada sabda raja yang memiliki kekuatan kosmis. Ketidakpatuhan terhadap sabda raja bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap norma adat, tetapi juga dianggap sebagai ancaman terhadap keseimbangan alam semesta.
Perpecahan antara LDA dan PB XIII hanya akan membawa dampak negatif bagi Kraton Solo. Budaya dan tradisi yang selama ini dipertahankan dengan susah payah bisa hancur hanya karena konflik internal yang tak kunjung selesai. Padahal, tugas utama semua elemen dalam kraton adalah menjaga warisan budaya, bukan memperebutkan kekuasaan.
Penulis sangat berharap bahwa semua pihak, terutama LDA, bisa kembali pada norma yang telah lama berlaku di Kraton Solo. Tradisi dan budaya Jawa sudah jelas menempatkan raja sebagai otoritas tertinggi. Sabda raja adalah perintah yang harus dihormati dan dipatuhi oleh semua elemen dalam kraton. Keberadaan lembaga seperti LDA, jika tidak tunduk pada raja, hanya akan merusak tatanan yang selama ini telah dijaga dengan baik.
Dalam tradisi Jawa, tidak ada ruang untuk lembaga yang memisahkan diri dari otoritas raja. Ketaatan pada raja bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga kewajiban spiritual yang bertujuan menjaga keseimbangan alam semesta. Oleh karena itu, LDA seharusnya menempatkan diri sebagai pendukung Pakoe Boewono XIII, bukan sebagai rival yang terus-menerus memicu konflik.
Kraton Solo adalah salah satu benteng terakhir budaya Jawa yang masih bertahan hingga saat ini. Namun, jika konflik internal seperti ini terus dibiarkan, keberlangsungan tradisi dan paugeran Kraton Solo akan semakin terancam. Seluruh elemen dalam kraton, termasuk LDA, harus bersatu di bawah satu komando, yaitu sabda raja. Hanya dengan demikian, Kraton Solo dapat terus menjaga eksistensinya sebagai penjaga budaya dan tradisi Jawa.
Sebagai penggiat budaya, penulis sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Kraton Solo. LDA, yang seharusnya menjadi bagian dari kraton, kini justru melampaui wewenang yang seharusnya. Jika keadaan ini terus berlanjut, budaya dan tradisi Kraton Solo akan semakin tercederai. Sudah saatnya semua elemen kraton, terutama LDA, kembali menghormati sabda Pakoe Boewono XIII sebagai raja sah Kraton Solo. Sabda raja bukan hanya perintah administratif, tetapi juga manifestasi kehendak ilahi yang harus dipatuhi demi menjaga keseimbangan dan kelestarian budaya Kraton Solo.