Semarang – Warga Desa Ngadirgo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, menyoroti hilangnya lapangan sepak bola yang selama ini menjadi fasilitas olahraga masyarakat. Lapangan yang dulunya berasal dari tanah bengkok carikan kini justru telah dikapling dan dijual kepada masyarakat umum oleh pihak pengembang.
Menurut penuturan Sujono (70), warga yang telah lama menetap di Ngadirgo, lapangan tersebut awalnya merupakan tanah bengkok carikan yang kemudian diserahkan oleh pihak kelurahan kepada tiga dukuh, yakni Sebluk, Wonoyoso, dan Kongkong, untuk dijadikan lapangan sepak bola.
“Warga dulu juga dimintai uang Rp100 ribu per orang, hingga terkumpul sekitar Rp26 juta untuk pembangunan lapangan. Tapi sekarang kok malah dikapling dan dijual untuk perumahan?” ungkap Sujono dengan nada kecewa.
Menanggapi hal itu, Plt Lurah Ngadirgo, Kurniawan, mengaku baru mengetahui persoalan tersebut.
“Saya baru tahu permasalahan itu. Nanti saya akan tanyakan ke lurah sebelumnya terkait kejanggalan masalah lapangan itu,” ujarnya saat dikonfirmasi, rabu (1/10/25).
Sementara itu, Ketua PWDPI DPC Kota Semarang, Agus Yuwono, juga menilai adanya kejanggalan dalam pengalihan fungsi lapangan tersebut.
“Saya heran, kenapa lapangan yang dulu tanah bengkok carik dan digunakan untuk warga, sekarang dikapling-kapling dan dijual jadi perumahan. Siapapun pemiliknya sekarang, lapangan itu harus dikembalikan untuk warga. Itu hak masyarakat untuk berolahraga,” tegas Agus.
Dari keterangan Ketua RT 4 RW 4 Ngadirgo, Arofi, tanah bengkok yang digunakan sebagai lapangan tersebut pernah ditukar guling oleh Pemkot Semarang sekitar tahun 2007 dengan lahan di wilayah Sodong. Namun, warga hingga kini tidak mengetahui kejelasan lokasi maupun status tanah pengganti tersebut.
“Setahu saya, tanah bengkok itu memang dijadikan lapangan oleh tiga dukuh. Katanya dulu ditukar guling oleh Pemkot Semarang di daerah Sodong, tapi kami tidak tahu pasti di mana tanah penggantinya,” ujarnya.
“Bahkan kami juga masih bingung, karena yang ditukar guling itu seharusnya tanah bengkoknya, bukan lapangannya,” tambahnya.
Arofi mengungkapkan, pada akhir 2024 warga sempat dipanggil untuk mediasi di kantor kecamatan dan bertemu dengan perwakilan Sekda Kota Semarang. Dalam pertemuan itu, warga disampaikan bahwa lapangan akan diganti dengan lokasi baru.
“Kami sudah sampaikan, kalau memang mau ditukar, kami menolak. Kami ingin lapangan itu tetap untuk warga. Tapi pihak Sekda bilang lapangan itu sudah dibeli,” ungkap Arofi, rabu (1/10/25).
Persoalan ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan warga mengenai status hukum tanah tersebut. Masyarakat meminta Pemkot Semarang untuk menelusuri ulang riwayat tanah bengkok carikan di Ngadirgo dan mengembalikan fungsi sosial lapangan sebagaimana peruntukan awalnya.
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap aset desa, khususnya tanah bengkok yang memiliki fungsi strategis bagi kesejahteraan masyarakat. Diperlukan transparansi dari Pemkot Semarang dan aparat kelurahan terkait riwayat tukar guling serta legalitas perubahan fungsi lahan agar tidak menimbulkan konflik agraria baru.









